Kamis, 15 Desember 2011

MATOKEK -Tradisi Tolak Bala

MAKOTEK

Tradisi Tolak Bala

TRADISI Makotek yang dipercaya sebagai penolak bala oleh warga Desa Munggu Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung secara turun-temurun hingga kini masih tetap dilangsungkan. Tradisi tersebut diselenggarakan setiap Hari Raya Kuningan.

Ketua Kertha Desa Munggu Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung Ida Bagus Gede Mahadewa mengatakan, Makotek merupakan tradisi yang dilakukan setiap hari raya Kuningan serta dipercaya dapat menjauhkan segala bentuk bencana.

“Tradisi ini sudah lama ada dan pernah ditiadakan, tapi kemudian ada bencana menimpa warga kami,” katanya, Sabtu (16/7) kemarin. Lanjutnya, setelah peristiwa itu, tradisi ini kemudian dilakukan kembali oleh warga Desa Munggu, namun tidak menggunakan tombak, melainkan dengan kayu.

Selain itu, tradisi Makotek juga untuk memperingati kemenangan Kerajaan Mengwi saat perang melawan Kerajaan Blambangan dari Banyuwangi saat itu.

Tradisi ini disebut Makotek lantaran berawal dari suara kayu-kayu yang saling bertabrakan ketika kayu-kayu tersebut disatukan menjadi bentuk gunung yang menyudut ke atas. “Makotek karena timbul dari suara kayu-kayu yang digabung jadi satu, bunyinya tek… tek… tek… Sebenarnya dulu tradisi ini bernama Grebek yang artinya saling dorong,” jelasnya.

Dalam tradisinya, perang makotek ini dilakukan oleh sekitar ratusan kaum laki-laki yang berasal dari Desa Munggu. Mereka rata-rata berumur 13 hingga 60 tahun.

Sebelum memulai atraksi ini peserta terlebih dahulu melakukan persembahyangan bersama di Pura Desa, dengan dipercikkan air suci. “Atraksi ini ada pantangannya. Peserta yang ikut tidak boleh ada yang keluarganya sedang meninggal, dan istrinya melahirkan,” ujarnya.

Dalam permainannya, ratusan kayu tersebut masing-masing dipegang oleh para laki-laki dengan cara menggabungkan kayu sepanjang 3,5 meter dari pohon pulet hingga membentuk kerucut. Kemudian salah satu dari pemuda yang merasa tertantang pun harus menaiki kayu tersebut hingga berada di ujung dengan posisi berdiri.

Di sisi lain dengan cara yang sama, ratusan orang dengan kayu-kayu tersebut juga disatukan hingga berbentuk kerucut, dan dinaiki oleh salah seorang pemuda. Kedua kelompok dengan masing-masing kayu tersebut kemudian dipertemukan untuk berperang layaknya panglima perang.

Meski cukup berbahaya karena banyak pula yang terjatuh dari ujung kayu, namun tradisi ini tetap dianggap menyenangkan dengan banyaknya orang yang berkali-kali mencoba untuk naik.

SUMBER: Bali Post



Dari Asosiasi Tradisi Lisan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar