Tampilkan postingan dengan label Culture. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Culture. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 Desember 2011

SANG INDANG (Roh Halus) KUDA LUMPING

Kuda Lumping adalah sebuah bentuk kesenian yang tumbuh subur di tengah masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah. Beberapa daerah seperti Yogyakarta, kadang menyebutnya sebagai jatilan. Ada pula yang menamainya jaran kepang.


Sementara masyarakat di wilayah Kebumen dan Banyumas mengenalnya sebagai kesenian ebeg. Namun, secara garis besar, tampilan tidak terlalu jauh berbeda. Selalu ada unsur magis dalam tariannya yang atraktif. Dalam sejarahnya, ebeg merupakan tarian sakral yang sering mengiringi upacara keagamaan tertentu. Ada roh halus atau indang yang diundang serta di dalamnya.

Kelompok kesenian Turonggo Laras asal Bumiagung, Kebumen, Jawa Tengah, tak lama lagi akan berpentas. Malam sebelum pertunjukan adalah saatnya bagi ketua rombongan dan penimbul alias pawang melakukan semedi di rumah masing-masing. Malam itu, selain memanggil indang atau roh halus, mereka juga minta izin serta perlindungan agar pertunjukan berjalan lancar.

Tak cuma itu. Pada hari pertunjukkan, Jumadi harus menyiapkan komaran alias sesaji komplet, yang variasinya mencapai lebih dari 20 macam. Baik berupa makanan matang, mentah, hewan, dedaunan, maupun benda-benda kesukaan indang. Sesaji ini untuk persembahan kepada indang, yang disantap melalui wayang atau anggota kuda lumping saat kesurupan.

Sesaji merupakan bagian dari ritual utama dalam acara penyembuhan wayang yang kerasukan indang. Konon, bila kurang komplet, sang indang akan murka. Bila demikian, maka wayang susah disembuhkan bahkan bisa mengamuk.

Sebelum pertunjukan dimulai, Suparyo membuat pagar gaib, berbentuk segi empat dengan menanam benda yang sebelumnya diberi mantera. Masing-masing sudut memiliki peran sebagai penjaga, bersiaga mencegah mereka yang ingin menjahili pertunjukan. Sedangkan yang di tengah berfungsi memanggil indang.

Meski demikian Suparyo pernah dikerjai orang. Sesaat pertunjukan, indang gagal datang. Akibatnya saat acara janturan, wayang tidak bisa mabok atau kesurupan. Setiap kelompok kesenian kuda lumping biasanya memiliki indang masing-masing. Dipelihara di sebuah tempat yang disebut panembahan.

Untuk menjaga indang tetap betah, setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon, sesaji makanan rutin disediakan oleh ketua rombongan dan sang penimbul.

Karena itu, meski rombongannya ditanggap di luar daerah, indangnya tetap dipanggil dari Panembahan Rantamsari di Desa Bumiagung. Kalau pun ada indang yang nimbrung, itu hanya sebatas tamu yang kebetulan sama-sama menyukai kesenian ebeg. Bila ada indang yang bandel, seperti tidak mau pergi padahal pertunjukan hampir usai, penimbul memiliki hak prerogatif untuk mengusir indang tamu.

Pertunjukan semakin seru jika ada penonton turut kerasukan roh atau indang ini. Konon indang yang diperlukan untuk menyemarakkan pertunjukan, bisa mencapai 40 lebih. Para indang ini dibawa dari panembahan asalnya ke lokasi pertunjukan, termasuk ke luar kota, dengan dimasukkan ke dalam barongan, kendang, atau ke dalam saron.

Percaya tidak percaya, unsur magis dalam pertunjukan kesenian kuda lumping, atau yang dikenal masyarakat Banyumas sebagai ebeg ini memang menjadi bagian penting pertunjukan. Sepinya penanggap kesenian ini sekarang, tidak membuat hubungan sang penimbul dan para indang terganggu. Mereka yakin, dimanapun kesenian ini hadir, akan membius para penontonnya, untuk menyaksikan hingga sang indang meninggalkan arena pertunjukan.(Idh)



Perlu Terus Dipelihara dan Dikembangkan

Secara garis besar, begitu banyak kesenian serta kebudayaan yang ada di Indonesia diwariskan secara turun-menurun dari nenek moyang bangsa Indonesia hingga ke generasi saat ini. Sekarang, kita sebagai penerus bangsa merupakan pewaris dari seni budaya tradisional yang sudah semestinya menjaga dan memeliharanya dengan baik. Tugas kita adalah mempertahankan dan mengembangkannya, agar dari hari ke hari tidak pupus dan hilang dari khasanah berkesenian masyarakat kita.

Satu hal yang harus kita waspadai bahwa Indonesia masih terus dijajah hingga sekarang dengan masuknya kebudayaan asing yang mencoba menyingkirkan kebudayaan-kebudayaan lokal. Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus bangsa bangkitlah bersama untuk mengembalikan kembali kebudayaan yang sejak dahulu ada dan jangan sampai punah ditelan zaman modern ini. Untuk itu, kepada Pemerintah dan masyarakat diharapkan agar secara terus-menerus menelurusi kembali kebudayaan apa yang hingga saat ini hampir tidak terdengar lagi, untuk kemudian dikembangkan dan dilestarikan kembali nilai-nilai kebudayaan Indonesia.



ACCERA KALOMPOANG -Tradisi Sakral


ACCERA KALOMPOANG

Tradisi Sakral di Balla Lompoa, Makassar

Upacara adat "Accera Kalompoang" merupakan salah satu ritual acara adat yang sangat disakralkan, diyakini dan dihormati masyarakat Gowa. Inti kegiatan dari upacara adat ini antara lain Allekka Je'ne, Ammolong Tedong, Appidalleki dan Alangiri Kalompoang. 

Upacara adat ini telah dilaksanakan secara turun temurun, dan dilaksanakan bertepatan dengan Idul Adha sebagai puncak acara yang dirangkaikan dengan pencucian benda-benda pusaka milik kerajaan.

Sehari sebelum pelaksanaan idul Adha, orang dalam istana Balla Lompoa terlihat telah melakukan berbagai persiapan menjelang upacara adat Accera Kalompoang.

Sutrisno Daeng Tojeng, selaku pengawal benda pusaka memimpin upacara ritual Alleka Je'ne atau mengambil air dari Bungung Lompoa, yang terletak di sisi kompleks makam Sultan Hasanuddin, di Katangka. Ritual Alleka Je'ne ini mengandung makna menjemput, mengambil dan mengantar air bertuah. Kegiatan yang seharusnya dimulai pada saat matahari sekitar 'sitonrang bulo' (antara jam 07.30-09.00), terpaksa molor akibat paganrang (kelompok pemukul gendang) yang terlambat datang. 

Sekitar pukul 10.30 rombongan dan segenap perangkat upacara meninggalkan istana diiringi irama gendang tunrung pa'balle menuju ke bungung lompoa atau sumur bertuah yang terletak di sekitar kompleks Makam Sultan Hasanuddin, diantara lokasi masjid tua Katangka, melewati batu Tumanurunga atau Batu Pallantikang yang dipergunakan sebagai tempat Pelantikan Raja yang berada di Bukit Tamalatea.

Pengambilan air di Bungung Lompoa mempergunakan timba yang bahannya terdiri dari unsur alam yang bersifat nabati, pelepah daun lontar. Disamping Bungung Lompoa, terdapat tiga buah sumur bertuah yang memiliki fungsi tersendiri, yakni air sumur bungung lompoa dipergunakan dalam pembersihan dan pencucian (alangiri), air bungung barania dipakai untuk kesaktian dan kekebalan dan air bungung bissua dipergunakan untuk pengobatan.

Sebelum rombongan penjemput air bertuah kembali ke Istana Raja Gowa,Balla Lompoa, air diarak mengelilingi Batu Tumanurunga sebanyak tiga kali.

Setibanya di Istana, sebahagian air bertuah tersebut dituangkan di wajan untuk bahan Appassili dan selebihnya disemayamkan di atas Balla Lompoa untuk dipergunakan pada acara Allangiri Kalompoang. 

Upacara kemudian dilanjutkan dengan "Ammolong tedong" atau pemotongan kerbau. Menurut pemuka adat kerajaan Gowa, Upacara Ammolong Tedong ini sesuai ajaran Syariat Islam yang bermakna sebagai pengakar dan penolak bahaya yang berhubungan dengan darah sebagaimana penuturan yang disepakati secara teguh turun temurun.

Upacara "Ammolong Tedong" ini dimulai pada saat posisi matahari Allabang Lino (pertengahan bumi). Upacara dimulai dengan ritual Appasili Tedong kemudian Apparurui Tedong atau perlakuan khusus pada hewan kurban yang selanjutnya hewan kurban ini diarak oleh rombongan mengitari areal istana dan setelah itu dimasukkan ke dalam tempat khusus penyembelihan untuk dipotong dan sebagian darah ditadah dan disemayamkan untuk bahan Allangiri Kalompoang serta kepalanya disimpan untuk upacara Appidalleki.

Upacara Appildalleki, pengertian harfiahnya adalah persembahan sesajen kepada leluhur yang diantar dengan doa syukur kehadirat Allah SWT. Kegiatan ini dilaksanakan pada saat posisi matahari kembali diperaduannya, sesudah shalat Isya dan takbiran, dimana upacara ini khusus dihadiri oleh kalangan keluarga Raja.

Allangiri Kalompoang

Upacara Allangiri Kalompoang atau biasa juga diistilahkan Annyossoro (pembersihan benda-benda utama pusaka kerajaan dan selanjutnya dilakuakn acara penimbang/penakaran benda-benda pusaka milik kerajaan.

Upacara inilah yang merupakan inti dari segala rangkaian Accera Kalompoang yang oleh masyarakat Gowa memberihkan arti tersendiri atas pelaksanaannya. 

1.Annyossoro diartikan untuk meluluhkan segala sifat-sifat kejelekan manusia;

2.Allangiri adalah menanamkan keyakinanakan kesucian; dan
3.Annimbang adalah pertanda baik buruknya tingkat kehidupan rakyat dimasa datang dan berhasil tidaknya hasil bumi, ditentukan dari berat ringannya hasil penimbangan benda-benda kerajaan. 

Benda-benda kebesaran kerajaan Gowa yang dibersihkan (allangiri kalompoang) yakni:

1.Pannyanggaya berupa tombak yang terbuat dari rotan dan berambut ekor kuda dengan panjang 2,22 cm dipakai pada upacara khusus kerajaan.

2.Lasippo ; adalah benda kerajaan yang berbentuk parang dari besi tua. Senjata sakti ini dipergunakan oleh raja sebagai pertanda untuk mendatangi suatu tempat yang akan dikunjungi, panjangnya 62 cm, lebar 6 cm.

3.Tataparang ; adalah sejenis keris emas, pakai permata dan besi tua sebagai pelengkapnya. Dipakai dalam upacara kerajaan, beratnya 986,5 gram, panjang 51 cm dan lebar 13 cm.

4.Salokoa ; adalah mahkota terbuat dari bahan emas murni dan beberapa butiran permata berlian dll, ukuran garis tengah 30 cm, jumlah permata 250 batang, berat 1.768 gram. Bentuknya menyerupai kerucut bunga teratai yang memiliki lima helai kelopak daun. Merupakan salah satu benda kebesaran kerajaan Gowa yang digunakan sebagai mahkota bila ada pelantikan raja. Benda ini berasal dari Raja Gowa pertama (Tumanurunga di abad ke 14).

Selain itu masih ada sejumlah benda pusaka lainnya yang ikut dibersihkan, diantaranya:

1.Sudanga (kelewang yang memiliki kesaktian), 

2.Ponto Janga-Jangaya (gelang terbuat dari emas murni dengan berat 985m5 gram bentuknya seperti naga yang melingkar sebanyak 4 buah, 

3.Kolara (rantai kerajaan terbuat dari emas murni) dan menjadi atribut raja yang berkuasa seberat 2.182 gram, 

4.bangkarak ta'roe adalah perhiasan seperti anting-anting terbuat dari emas murni seberat 287 gram, 

5.kancing gaukang terbuat dari emas murni seberat 277 gram, 

6.tobo kaluku (kalung dari Manila) terbuat dari emas murni pemberian dari kerajaan Sulu Philipina Selatan pada abad XVI, 

7.mata tombak, cincin emas, parang panjang, penning emas pemberian dari kerajaan Inggris serta 

8.medali emas pemberian dari kerajaan Belanda.

MATOKEK -Tradisi Tolak Bala

MAKOTEK

Tradisi Tolak Bala

TRADISI Makotek yang dipercaya sebagai penolak bala oleh warga Desa Munggu Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung secara turun-temurun hingga kini masih tetap dilangsungkan. Tradisi tersebut diselenggarakan setiap Hari Raya Kuningan.

Ketua Kertha Desa Munggu Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung Ida Bagus Gede Mahadewa mengatakan, Makotek merupakan tradisi yang dilakukan setiap hari raya Kuningan serta dipercaya dapat menjauhkan segala bentuk bencana.

“Tradisi ini sudah lama ada dan pernah ditiadakan, tapi kemudian ada bencana menimpa warga kami,” katanya, Sabtu (16/7) kemarin. Lanjutnya, setelah peristiwa itu, tradisi ini kemudian dilakukan kembali oleh warga Desa Munggu, namun tidak menggunakan tombak, melainkan dengan kayu.

Selain itu, tradisi Makotek juga untuk memperingati kemenangan Kerajaan Mengwi saat perang melawan Kerajaan Blambangan dari Banyuwangi saat itu.

Tradisi ini disebut Makotek lantaran berawal dari suara kayu-kayu yang saling bertabrakan ketika kayu-kayu tersebut disatukan menjadi bentuk gunung yang menyudut ke atas. “Makotek karena timbul dari suara kayu-kayu yang digabung jadi satu, bunyinya tek… tek… tek… Sebenarnya dulu tradisi ini bernama Grebek yang artinya saling dorong,” jelasnya.

Dalam tradisinya, perang makotek ini dilakukan oleh sekitar ratusan kaum laki-laki yang berasal dari Desa Munggu. Mereka rata-rata berumur 13 hingga 60 tahun.

Sebelum memulai atraksi ini peserta terlebih dahulu melakukan persembahyangan bersama di Pura Desa, dengan dipercikkan air suci. “Atraksi ini ada pantangannya. Peserta yang ikut tidak boleh ada yang keluarganya sedang meninggal, dan istrinya melahirkan,” ujarnya.

Dalam permainannya, ratusan kayu tersebut masing-masing dipegang oleh para laki-laki dengan cara menggabungkan kayu sepanjang 3,5 meter dari pohon pulet hingga membentuk kerucut. Kemudian salah satu dari pemuda yang merasa tertantang pun harus menaiki kayu tersebut hingga berada di ujung dengan posisi berdiri.

Di sisi lain dengan cara yang sama, ratusan orang dengan kayu-kayu tersebut juga disatukan hingga berbentuk kerucut, dan dinaiki oleh salah seorang pemuda. Kedua kelompok dengan masing-masing kayu tersebut kemudian dipertemukan untuk berperang layaknya panglima perang.

Meski cukup berbahaya karena banyak pula yang terjatuh dari ujung kayu, namun tradisi ini tetap dianggap menyenangkan dengan banyaknya orang yang berkali-kali mencoba untuk naik.

SUMBER: Bali Post



Dari Asosiasi Tradisi Lisan