Jumat, 04 November 2011

Sastra Tutur Lisan Dadi yang Hampir Punah


Dadi merupakan salah satu sastra tutur (lisan) yang dimiliki masyarakat adat Lampung—dari marga Pubian, Lampung Tengah—selain kesenian Ringget dan Bubandung. Dalam masyarakat marga Pubian Telu Suku, khususnya, merupakan seni sastra tutur yang dalam membawakannya memiliki tingkat kesulitan tinggi. Karena untuk membawakan dadi membutuhkan pernafasan panjang, dan pelantunnya harus menguasai bahasa Lampung tinggi. Maka tak banyak orang Lampung yang benar-benar menguasainya.
Dadi dalam bahasa Lampung Pubian berarti mengandung sindiran dan makna yang mendalam untuk diterjemahkan. Dadi biasanya dilantunkan saat pergantian tahun, panen raya, pertemuan bujang-gadis atau sebelum/sesudah acara gawi. Bahkan untuk mengadakan acara dadi dipersiapkan pertemuan khusus.
Semasa jayanya dulu, dadi biasanya dilantunkan oleh beberapa pasang bujang dan gadis dengan menggunakan bahasa Lampung. Di belakang gadis biasanya ada guru yang mengajarkan jawaban-jawaban. Sehingga gadis itu harus menirukan lagu dan kosa kata yang diajarkan dari pengajar dibelakangnya. Di antara pengajar dan gadis-gadis itu dihalangi atau dibatasi dengan kebung atau lelit (kain yang bermakna kemasyarakatan) sehingga yang mengajarkan tidak nampak.
Di samping menggunakan bahasa yang halus, berdadi juga harus mengandung dua makna atau berarti ganda. Jika dua kelompok sedang melakukan dadi, salah satunya pindah pematang (makna bait yang baru dilantunkan berlainan dengan bait sebelumnya) maka si pendadi dinyatakan kalah.
Menurut pakar Dadi Manuna dalam membawakannya, irama dadi bermacam-macam, seperti: Lagu Dibi (irama senja), Lagu Tengah Bingi (irama tengah malam), Lagu Kuwasan (irama menjelang pagi), Lagu Punai Nanoh (irama naik-turun), Lagu Salah Undogh (irama awal ditinggikan, irama berikutnya rendah) dan Lagu Ngelumpat Kidang (irama tidak beraturan).
Simak beberapa bait dadi berikut ini yang sering dilantunkan ahli dadi Masnuna—salah satu penjaga sastra lisan Lampung yang kini jarang lagi pentas karena umurnya makin uzur. Konon, keahliannya Masnuna dalam mendedahkan dadi hingga kini tak ada tandingannya.
Bunga layu dipampang
Tiyak di tengah kali
lapah ngambang kambang
Miba nutuk way mili
Dalam dadi ini dikisahkan penaka bunga layu di cabang lalu jatuh di tengah sungai. Berjalan terombang-ambing mengikuti arus air sungai. Bait-baitnya menggambarkan bagaimana terjadinya globalisasi yang membuat gegar budaya dalam komunitas tradisi orang Lampung.
Merasa liyom (malu) jadi orang Lampung, tetapi nilai-nilai baru yang dianggap ideal sebagai pegangan belum teraih. Jadilah, orang-orang urban yang tercerabut dari akarnya dan kehilangan jatidiri. Kondisi ini membuat masyarakat anomali karena kehilangan jati diti. Membuang adat sudah, tetapi jadi manusia modern pun tidak.
Sejarah sa di buang
Kak Khadu kualami
Ibaghat ngubak bawang
Wat bawak mak buisi
Ibarat mengupas bawang, masa lalu telah berlalu. Ada kulit namun tak ada isi. Pesan bijaknya dalam syair dadi ini tersirat berhati-hatilah dalam menjalani kehidupan. Jangan lupa dengan seni budaya (kesenian) agar hidup yang dijalaninya tak sia-sia. Semua adat dan budaya harus dijaga dan ditumbuhkembangkan.
Karena tingkat kesulitan membawakannya cukup tinggi, seperti menggunakan bahasa Lampung tingkat tinggi yang tak semua orang mengerti maknanya, sastra lisan ini pun lambat laun mulai ditinggalkan. Sungguh sangat disayangkan, seni budaya daerah, yang mencerminkan kearifan lokal ini kini harus tergerus oleh zaman.