Rabu, 11 Januari 2012

Karo, Indonesia on 2012 World Monuments Watch

THE WORLD MONUMENTS WATCH

Launched in 1996 and issued every two years, the World Monuments Watch is the flagship advocacy program of World Monuments Fund. The Watch calls international attention to cultural heritage around the world that is at risk from the forces of nature and the impact of social, political, and economic change. From archaeological sites to modern architecture, cultural landscapes to historic urban centers, the Watch identifies places of significance in need of timely action. Th e 2012 World Monuments Watch continues this tradition with the inclusion of 67 sites from 41 countries and territories. 

In its sixteen-year history, the Watch has served as a beacon, not only for treasured places but for society as well. As an open process, the Watch receives nominations directly from individuals, organizations, and governments on the ground. More than 500 advocates in over 80 countries engaged in the preparation and endorsement of nominations to the 2012 Watch, raising local issues to inform an international dialogue.

More than ever, this ninth cycle of the Watch underscores the important dynamic between communities and their collective heritage. Th e 2012 Watch includes many sites from urban, densely populated areas, which highlight the growing need to balance heritage preservation with the demand to serve contemporary social, economic, and environmental priorities. The 2012 Watch continues to highlight the need to protect the heritage of the recent past, as well as the challenges faced by archaeological sites that increasingly need improved management and visitor plans. Th e 2012 Watch is an opportunity to discover many places that are jewels hiding in plain sight or found in remote areas that may be enjoyed by only small numbers of local residents and adventurous travelers. Just saving sites from destruction or decay is not enough. Conservation means working to integrate heritage into the fabric of society and reconnecting people and places in new and innovative ways.

The 2012 World Monument Watch encourages everyone to do the same. Do your part to make the past part of a better future by supporting activities at 2012 Watch sites, joining local advocacy efforts, or just passing on the message. For more information, go here.

Desa Lingga, Karo Regency, North Sumatra Province, Indonesia is on  the 2012 WORLD MONUMENTS WATCH

Located outside of Kabanjahe and west of Lake Toba in central North Sumatra, the farming village of Desa Lingga is emblematic of the challenges of maintaining local culture and vernacular practices in a rapidly globalizing world. Decorative timber structures with graceful thatched roofs characterize the village and are vestiges of traditional Karo Batak design and construction. In the mid-1980s, 28 of these dwellings were surveyed; now only nine remain. Many have been replaced with modern, concrete block housing. Of the surviving structures, three have been restored with local resources and know-how, and six are in desperate need of repair.
DESA LINGGAA community crafts program was established to fund restoration efforts over the past two years, but diminished tourism has decreased revenue and thus impeded repairs. A tornado that passed through the village in April 2011 further damaged the already compromised structures and stretched limited resources. Little time is left before several of these houses succumb to decay and collapse. Desa Lingga represents a timely opportunity for international cooperation in preserving local heritage and in preventing the loss of an important example of vernacular architecture of southeast Asia. Go visit!
Since 1996 Indonesia has some site were on World Monuments Watch.  They are Borobudur, Central Java (1996); Tanah Lot Temple, Beraban (2000); Omo Hada, Nias (2000, 2002, 2004, 2006), Omo Hada is a rare surviving 18th-century traditional Indonesian village; Tamansari Water Castle, Yogyakarta (2004), Tamansari means perfumed garden, is the name for the gardens and associated structures built in 1765 for Hamengku Buwono I, the Sultan of the kingdom of Yogyakarta; Kotagede Heritage District, Kotagede (2008) and current watch site is Desa Lingga, Karo Regency, North Sumatra. Nice, isn't it?

Kamis, 15 Desember 2011

Tradisi MED MED-AN



Omed-Omed-an

Upacara Med Med-an diadakan sehari setelah Hari Raya Nyepi sore harinya yaitu pada hari Ngembak Geni menyambut tahun baru Saka, Med Medan ini yang sudah ada selama puluhan tahun yang lalu, dan masih terus laksanakan dan dilestarikan sampai saat ini. Tempat perayaan upacara ini berlangsung didesa Sesetan yang terletak di Banjar kala 3 km dari Ibukota Denpasar Bali.

Med Med-an mengandung pengertian dalam bahasa Bali nya berasal dari kata omed-omedan yang artinya tarik tarikan, asal mula upacara cara Med Medan ini tidak diketahui dengan pasti kapan diadakannya hanya kebiasaan,namun sudah menjadi tradisi secara turun temurun juga merupakan salah satu warisan budaya yang tak ternilai harganya.

Menurut cerita pada waktu itu Med Med-an berlangsung pada saat Hari Raya Nyepi, di karena seorang tokoh puri (Ida Bhatara Kompiang), sakit keras maka dihimbau seluruh penduduk desa Sesatan untuk tidak ribut rebut di depan Puri, pada saat hari Nyepi tiba karena sedih dan kecewa akibat larangan tersebut, ada beberapa warga yang melanggar dan tetap mengadakan Med Med-an karena sudah menjadi warisan dari nenek moyang mereka, mendengar larangan di langgar toko Pura yang sakit tersebut marah dan minta diantar depan Puri, pada saat tokoh Pura diantar keluar Puri, sakit yang semula parah dirasakan nya beransur ansur berkurang dan pas tokoh Puri tersebut tepat berada di tempat keramaian yang diadakan oleh warga, sakit nya hilang sama sekali dan badannya merasa sehat seperti sediakala. Sejak itu tradisi Med Medan kembali di teruskan dan dilaksanakan seperti semula.

Di tahun 1980-an karena adanya pengaturan, penataan dan pembinaan terhadap Umat Hindu secara professional oleh Parisada Hindu Dharma pusat, Hari Nyepi dilaksanakan selama 24 jam (dari pagi sampai besok paginya lagi), baru besoknya hari ngembak geni dirayakan sesuai dengan isi Aspek Aspek Agama Hindu I-XV (Proyek pengadaan Prasarana dan Sarana kehidupan Beragama, 1991/1992 : 10-12). Jadi hari ngembak geni sejak tahun 1980-an diperingati sebagai Hari Raya dengan acara utama Masima Karma atau Dharma Santi, lalu dilanjutkan dengan melaksanakan tradisi Met Metan. Pada Tahun 1984 terjadi lagi larangan diadakannya Met Metan diadakan, dikarenakan ada omongan miring yan tidak mengenakan tentang muda mudi yang berciuman saat upacara dilaksanakan. 

Walaupun sudah ada pengumuman tersebut masyarakat tetap datang ingin menyaksikan upacara Met Metan tersebut, saat itu entah dari mana datangnya terlihat dua ekor babi berkelahi sampai berdarah. Salah seorang warga melaporkan ke tokoh Pura (I Gusti Ngurah Oka Putra), saat tiba disana kedua babi yang berkelahi tersebut berhenti dan pergi, setelah itu dilakukan musyawarah dan juga petunjuk orang yang kesurupan di Pura bale Banjar diputuskan Met Metan tetap akan diadakan.

Sebelum acara berlangsung, dilakukan sembayang bersama dengan para peserta yang ikut dalam perayaan Med Medan. Upacara ini dipimpin oleh Jero Pemangku Pura, lalu mengadakan pemujaan dan menghantarkan persembahan sesuai dengan tradisi yang berlaku, setelah itu memercikan tirtha amerta (symbol anugerah Hyang Widhi) dan memberikan beberapa butir beras yang sudah di basahi dengan air pura, ditempelkan antara 2 alis dan diatas dada.

Peserta Med Medan ini terdiri 2 kelompok pria 40 orang dan wanita 60 orang (umur 16 s/d 21 tahun) dengan terlebih dahulu didata, sisa peserta akan di cadangakan untuk tahap berikutnya. Ketua kelompak ditempat kan di posisi depan lalu anggota yang ada dibelakang memegang pinggang temannya yang didepan. Cara pelaksaan Med Medan ini tarik tarikan menggunakan tangan kosong antara pria dan wanita dan diserami air, bila disirami air itu bertanda sudah selesai. Acara ini diselenggarakan hingga jam 17:00 waktu setempat.

Penutupan acara masima karma dan Med Medan ini dilakukan oleh kelian banjar dengan tidak lupa mengucapkan terimakasih atas partisipasi yang sudah mensukseskan tradisi Med Medan. (I Made Munggah)

Dari cerita diatas dapat simpulkan,sebagai manusia kita wajib menjunjung tinggi nilai nilai tradisi dan budaya yang sudah diwariskan agar tidak hilang ditelan masa dan peradaban.

Bagi anda yang ingin menyaksikan upacara yang menarik ini, sebaiknya anda datang ke Bali, karena ada hal hal yang lebih unik saat anda menyaksikan langsung, yang tidak disebutkan dalam artikel ini.

SANG INDANG (Roh Halus) KUDA LUMPING

Kuda Lumping adalah sebuah bentuk kesenian yang tumbuh subur di tengah masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah. Beberapa daerah seperti Yogyakarta, kadang menyebutnya sebagai jatilan. Ada pula yang menamainya jaran kepang.


Sementara masyarakat di wilayah Kebumen dan Banyumas mengenalnya sebagai kesenian ebeg. Namun, secara garis besar, tampilan tidak terlalu jauh berbeda. Selalu ada unsur magis dalam tariannya yang atraktif. Dalam sejarahnya, ebeg merupakan tarian sakral yang sering mengiringi upacara keagamaan tertentu. Ada roh halus atau indang yang diundang serta di dalamnya.

Kelompok kesenian Turonggo Laras asal Bumiagung, Kebumen, Jawa Tengah, tak lama lagi akan berpentas. Malam sebelum pertunjukan adalah saatnya bagi ketua rombongan dan penimbul alias pawang melakukan semedi di rumah masing-masing. Malam itu, selain memanggil indang atau roh halus, mereka juga minta izin serta perlindungan agar pertunjukan berjalan lancar.

Tak cuma itu. Pada hari pertunjukkan, Jumadi harus menyiapkan komaran alias sesaji komplet, yang variasinya mencapai lebih dari 20 macam. Baik berupa makanan matang, mentah, hewan, dedaunan, maupun benda-benda kesukaan indang. Sesaji ini untuk persembahan kepada indang, yang disantap melalui wayang atau anggota kuda lumping saat kesurupan.

Sesaji merupakan bagian dari ritual utama dalam acara penyembuhan wayang yang kerasukan indang. Konon, bila kurang komplet, sang indang akan murka. Bila demikian, maka wayang susah disembuhkan bahkan bisa mengamuk.

Sebelum pertunjukan dimulai, Suparyo membuat pagar gaib, berbentuk segi empat dengan menanam benda yang sebelumnya diberi mantera. Masing-masing sudut memiliki peran sebagai penjaga, bersiaga mencegah mereka yang ingin menjahili pertunjukan. Sedangkan yang di tengah berfungsi memanggil indang.

Meski demikian Suparyo pernah dikerjai orang. Sesaat pertunjukan, indang gagal datang. Akibatnya saat acara janturan, wayang tidak bisa mabok atau kesurupan. Setiap kelompok kesenian kuda lumping biasanya memiliki indang masing-masing. Dipelihara di sebuah tempat yang disebut panembahan.

Untuk menjaga indang tetap betah, setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon, sesaji makanan rutin disediakan oleh ketua rombongan dan sang penimbul.

Karena itu, meski rombongannya ditanggap di luar daerah, indangnya tetap dipanggil dari Panembahan Rantamsari di Desa Bumiagung. Kalau pun ada indang yang nimbrung, itu hanya sebatas tamu yang kebetulan sama-sama menyukai kesenian ebeg. Bila ada indang yang bandel, seperti tidak mau pergi padahal pertunjukan hampir usai, penimbul memiliki hak prerogatif untuk mengusir indang tamu.

Pertunjukan semakin seru jika ada penonton turut kerasukan roh atau indang ini. Konon indang yang diperlukan untuk menyemarakkan pertunjukan, bisa mencapai 40 lebih. Para indang ini dibawa dari panembahan asalnya ke lokasi pertunjukan, termasuk ke luar kota, dengan dimasukkan ke dalam barongan, kendang, atau ke dalam saron.

Percaya tidak percaya, unsur magis dalam pertunjukan kesenian kuda lumping, atau yang dikenal masyarakat Banyumas sebagai ebeg ini memang menjadi bagian penting pertunjukan. Sepinya penanggap kesenian ini sekarang, tidak membuat hubungan sang penimbul dan para indang terganggu. Mereka yakin, dimanapun kesenian ini hadir, akan membius para penontonnya, untuk menyaksikan hingga sang indang meninggalkan arena pertunjukan.(Idh)



Perlu Terus Dipelihara dan Dikembangkan

Secara garis besar, begitu banyak kesenian serta kebudayaan yang ada di Indonesia diwariskan secara turun-menurun dari nenek moyang bangsa Indonesia hingga ke generasi saat ini. Sekarang, kita sebagai penerus bangsa merupakan pewaris dari seni budaya tradisional yang sudah semestinya menjaga dan memeliharanya dengan baik. Tugas kita adalah mempertahankan dan mengembangkannya, agar dari hari ke hari tidak pupus dan hilang dari khasanah berkesenian masyarakat kita.

Satu hal yang harus kita waspadai bahwa Indonesia masih terus dijajah hingga sekarang dengan masuknya kebudayaan asing yang mencoba menyingkirkan kebudayaan-kebudayaan lokal. Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus bangsa bangkitlah bersama untuk mengembalikan kembali kebudayaan yang sejak dahulu ada dan jangan sampai punah ditelan zaman modern ini. Untuk itu, kepada Pemerintah dan masyarakat diharapkan agar secara terus-menerus menelurusi kembali kebudayaan apa yang hingga saat ini hampir tidak terdengar lagi, untuk kemudian dikembangkan dan dilestarikan kembali nilai-nilai kebudayaan Indonesia.



ACCERA KALOMPOANG -Tradisi Sakral


ACCERA KALOMPOANG

Tradisi Sakral di Balla Lompoa, Makassar

Upacara adat "Accera Kalompoang" merupakan salah satu ritual acara adat yang sangat disakralkan, diyakini dan dihormati masyarakat Gowa. Inti kegiatan dari upacara adat ini antara lain Allekka Je'ne, Ammolong Tedong, Appidalleki dan Alangiri Kalompoang. 

Upacara adat ini telah dilaksanakan secara turun temurun, dan dilaksanakan bertepatan dengan Idul Adha sebagai puncak acara yang dirangkaikan dengan pencucian benda-benda pusaka milik kerajaan.

Sehari sebelum pelaksanaan idul Adha, orang dalam istana Balla Lompoa terlihat telah melakukan berbagai persiapan menjelang upacara adat Accera Kalompoang.

Sutrisno Daeng Tojeng, selaku pengawal benda pusaka memimpin upacara ritual Alleka Je'ne atau mengambil air dari Bungung Lompoa, yang terletak di sisi kompleks makam Sultan Hasanuddin, di Katangka. Ritual Alleka Je'ne ini mengandung makna menjemput, mengambil dan mengantar air bertuah. Kegiatan yang seharusnya dimulai pada saat matahari sekitar 'sitonrang bulo' (antara jam 07.30-09.00), terpaksa molor akibat paganrang (kelompok pemukul gendang) yang terlambat datang. 

Sekitar pukul 10.30 rombongan dan segenap perangkat upacara meninggalkan istana diiringi irama gendang tunrung pa'balle menuju ke bungung lompoa atau sumur bertuah yang terletak di sekitar kompleks Makam Sultan Hasanuddin, diantara lokasi masjid tua Katangka, melewati batu Tumanurunga atau Batu Pallantikang yang dipergunakan sebagai tempat Pelantikan Raja yang berada di Bukit Tamalatea.

Pengambilan air di Bungung Lompoa mempergunakan timba yang bahannya terdiri dari unsur alam yang bersifat nabati, pelepah daun lontar. Disamping Bungung Lompoa, terdapat tiga buah sumur bertuah yang memiliki fungsi tersendiri, yakni air sumur bungung lompoa dipergunakan dalam pembersihan dan pencucian (alangiri), air bungung barania dipakai untuk kesaktian dan kekebalan dan air bungung bissua dipergunakan untuk pengobatan.

Sebelum rombongan penjemput air bertuah kembali ke Istana Raja Gowa,Balla Lompoa, air diarak mengelilingi Batu Tumanurunga sebanyak tiga kali.

Setibanya di Istana, sebahagian air bertuah tersebut dituangkan di wajan untuk bahan Appassili dan selebihnya disemayamkan di atas Balla Lompoa untuk dipergunakan pada acara Allangiri Kalompoang. 

Upacara kemudian dilanjutkan dengan "Ammolong tedong" atau pemotongan kerbau. Menurut pemuka adat kerajaan Gowa, Upacara Ammolong Tedong ini sesuai ajaran Syariat Islam yang bermakna sebagai pengakar dan penolak bahaya yang berhubungan dengan darah sebagaimana penuturan yang disepakati secara teguh turun temurun.

Upacara "Ammolong Tedong" ini dimulai pada saat posisi matahari Allabang Lino (pertengahan bumi). Upacara dimulai dengan ritual Appasili Tedong kemudian Apparurui Tedong atau perlakuan khusus pada hewan kurban yang selanjutnya hewan kurban ini diarak oleh rombongan mengitari areal istana dan setelah itu dimasukkan ke dalam tempat khusus penyembelihan untuk dipotong dan sebagian darah ditadah dan disemayamkan untuk bahan Allangiri Kalompoang serta kepalanya disimpan untuk upacara Appidalleki.

Upacara Appildalleki, pengertian harfiahnya adalah persembahan sesajen kepada leluhur yang diantar dengan doa syukur kehadirat Allah SWT. Kegiatan ini dilaksanakan pada saat posisi matahari kembali diperaduannya, sesudah shalat Isya dan takbiran, dimana upacara ini khusus dihadiri oleh kalangan keluarga Raja.

Allangiri Kalompoang

Upacara Allangiri Kalompoang atau biasa juga diistilahkan Annyossoro (pembersihan benda-benda utama pusaka kerajaan dan selanjutnya dilakuakn acara penimbang/penakaran benda-benda pusaka milik kerajaan.

Upacara inilah yang merupakan inti dari segala rangkaian Accera Kalompoang yang oleh masyarakat Gowa memberihkan arti tersendiri atas pelaksanaannya. 

1.Annyossoro diartikan untuk meluluhkan segala sifat-sifat kejelekan manusia;

2.Allangiri adalah menanamkan keyakinanakan kesucian; dan
3.Annimbang adalah pertanda baik buruknya tingkat kehidupan rakyat dimasa datang dan berhasil tidaknya hasil bumi, ditentukan dari berat ringannya hasil penimbangan benda-benda kerajaan. 

Benda-benda kebesaran kerajaan Gowa yang dibersihkan (allangiri kalompoang) yakni:

1.Pannyanggaya berupa tombak yang terbuat dari rotan dan berambut ekor kuda dengan panjang 2,22 cm dipakai pada upacara khusus kerajaan.

2.Lasippo ; adalah benda kerajaan yang berbentuk parang dari besi tua. Senjata sakti ini dipergunakan oleh raja sebagai pertanda untuk mendatangi suatu tempat yang akan dikunjungi, panjangnya 62 cm, lebar 6 cm.

3.Tataparang ; adalah sejenis keris emas, pakai permata dan besi tua sebagai pelengkapnya. Dipakai dalam upacara kerajaan, beratnya 986,5 gram, panjang 51 cm dan lebar 13 cm.

4.Salokoa ; adalah mahkota terbuat dari bahan emas murni dan beberapa butiran permata berlian dll, ukuran garis tengah 30 cm, jumlah permata 250 batang, berat 1.768 gram. Bentuknya menyerupai kerucut bunga teratai yang memiliki lima helai kelopak daun. Merupakan salah satu benda kebesaran kerajaan Gowa yang digunakan sebagai mahkota bila ada pelantikan raja. Benda ini berasal dari Raja Gowa pertama (Tumanurunga di abad ke 14).

Selain itu masih ada sejumlah benda pusaka lainnya yang ikut dibersihkan, diantaranya:

1.Sudanga (kelewang yang memiliki kesaktian), 

2.Ponto Janga-Jangaya (gelang terbuat dari emas murni dengan berat 985m5 gram bentuknya seperti naga yang melingkar sebanyak 4 buah, 

3.Kolara (rantai kerajaan terbuat dari emas murni) dan menjadi atribut raja yang berkuasa seberat 2.182 gram, 

4.bangkarak ta'roe adalah perhiasan seperti anting-anting terbuat dari emas murni seberat 287 gram, 

5.kancing gaukang terbuat dari emas murni seberat 277 gram, 

6.tobo kaluku (kalung dari Manila) terbuat dari emas murni pemberian dari kerajaan Sulu Philipina Selatan pada abad XVI, 

7.mata tombak, cincin emas, parang panjang, penning emas pemberian dari kerajaan Inggris serta 

8.medali emas pemberian dari kerajaan Belanda.

MATOKEK -Tradisi Tolak Bala

MAKOTEK

Tradisi Tolak Bala

TRADISI Makotek yang dipercaya sebagai penolak bala oleh warga Desa Munggu Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung secara turun-temurun hingga kini masih tetap dilangsungkan. Tradisi tersebut diselenggarakan setiap Hari Raya Kuningan.

Ketua Kertha Desa Munggu Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung Ida Bagus Gede Mahadewa mengatakan, Makotek merupakan tradisi yang dilakukan setiap hari raya Kuningan serta dipercaya dapat menjauhkan segala bentuk bencana.

“Tradisi ini sudah lama ada dan pernah ditiadakan, tapi kemudian ada bencana menimpa warga kami,” katanya, Sabtu (16/7) kemarin. Lanjutnya, setelah peristiwa itu, tradisi ini kemudian dilakukan kembali oleh warga Desa Munggu, namun tidak menggunakan tombak, melainkan dengan kayu.

Selain itu, tradisi Makotek juga untuk memperingati kemenangan Kerajaan Mengwi saat perang melawan Kerajaan Blambangan dari Banyuwangi saat itu.

Tradisi ini disebut Makotek lantaran berawal dari suara kayu-kayu yang saling bertabrakan ketika kayu-kayu tersebut disatukan menjadi bentuk gunung yang menyudut ke atas. “Makotek karena timbul dari suara kayu-kayu yang digabung jadi satu, bunyinya tek… tek… tek… Sebenarnya dulu tradisi ini bernama Grebek yang artinya saling dorong,” jelasnya.

Dalam tradisinya, perang makotek ini dilakukan oleh sekitar ratusan kaum laki-laki yang berasal dari Desa Munggu. Mereka rata-rata berumur 13 hingga 60 tahun.

Sebelum memulai atraksi ini peserta terlebih dahulu melakukan persembahyangan bersama di Pura Desa, dengan dipercikkan air suci. “Atraksi ini ada pantangannya. Peserta yang ikut tidak boleh ada yang keluarganya sedang meninggal, dan istrinya melahirkan,” ujarnya.

Dalam permainannya, ratusan kayu tersebut masing-masing dipegang oleh para laki-laki dengan cara menggabungkan kayu sepanjang 3,5 meter dari pohon pulet hingga membentuk kerucut. Kemudian salah satu dari pemuda yang merasa tertantang pun harus menaiki kayu tersebut hingga berada di ujung dengan posisi berdiri.

Di sisi lain dengan cara yang sama, ratusan orang dengan kayu-kayu tersebut juga disatukan hingga berbentuk kerucut, dan dinaiki oleh salah seorang pemuda. Kedua kelompok dengan masing-masing kayu tersebut kemudian dipertemukan untuk berperang layaknya panglima perang.

Meski cukup berbahaya karena banyak pula yang terjatuh dari ujung kayu, namun tradisi ini tetap dianggap menyenangkan dengan banyaknya orang yang berkali-kali mencoba untuk naik.

SUMBER: Bali Post



Dari Asosiasi Tradisi Lisan

Jumat, 02 Desember 2011

Fleksibilitas Kesenian


Ini merupakan hasil wawancara dengan Nyak Ina 'Ubiet' Raseuki

Berhadapan dengan Ubiet—begitu pemusik ”avant-garde” Nyak Ina Raseuki ini biasa
dipanggil—bisa membuat musik terdedah dari berbagai jurusan. Ubiet baru saja pulang kembali ke Tanah
Air setelah menyelesaikan pendidikan S-3, meraih gelar PhD dalam etnomusikologi dari University of
Wisconsin-Madison, AS dengan disertasi ”Being Islamic in Music: Two Contemporary Genres from Sumatera”.

Hari Rabu (2/9) petang lalu, ada acara di Komunitas Salihara, Pejaten, Jakarta, menampilkan Ubiet.
Beberapa orang yang datang ada yang mengira Ubiet akan menyanyi. Maklum, untuk kalangan tertentu, Ubiet
dikenal sebagai penyanyi dengan pendekatan musik dan pengungkapan vokal yang unik.

Dalam dunia industri rekaman, dia telah menghasilkan tiga album, yakni Archipelagongs (2000), Music for
Solo Performer: Ubiet Sings Tony Prabowo (2006); dan Ubiet Kroncong Tenggara (2007). Dia tampil di
beberapa panggung musik seperti ketika Kompas menyelenggarakan ”Megalitikum-Kuantum” tahun
2005. Ia juga pernah mengisi soundtracks film, selain menjadi penyanyi di berbagai kafe.

Ternyata, di Salihara petang itu Ubiet tidak menyanyi. Dia menjadi pembicara pada seri diskusi Ramadhan.
Ia menyampaikan makalah ”Dua Musik Islami dari Sumatera”—suatu pemikiran yang disarikan dari
disertasi doktornya, Being Islamic in Music.

Tentang apa disertasi Anda?

Disertasi saya tentang kesenian, terutama musik. Saya memilih hanya dua kelompok musik, yaitu Kande di
Aceh, laki-laki, penyanyi Rafly yang populer, musik pop; yang satu lagi saya pilih Kerinci di Provinsi
Jambi, kelompok musik sike rebana, perempuan, tradisi.

Ceritanya, ketika saya menyelesaikan kelas-kelas pada tahun 2000, saya pulang ke sini mau ke Aceh untuk
meneruskan (penelitian) sung poetry. Kompleksitas hubungan antara Islam dan sung poetry inilah yang
hendak saya perdalami sebagai kelanjutan tesis master saya tentang seudati, salah satu bentuk sung
poetry di Aceh.

Tetapi, Aceh sedang tidak aman, puncak-puncaknya konflik bersenjata, yang membuat saya tidak bisa
datang ke sana. Saya memindahkan penelitian saya ke Kerinci. Dalam kurun 2001-2003, saya bolak-balik ke
Kerinci, akhirnya saya memutuskan untuk melihat sike rebana yang sebelumnya saya lihat dalam Festival
Istiqlal tahun 1995.

Setelah tsunami tahun 2004, Aceh mulai terbuka. Mulai tahun 2005 sampai 2006 saya datang lagi ke Aceh
mengamati Kande. Kebetulan Kande ini suatu genre populer dan laki-laki. (Dengan dua contoh itu), yang
satu populer dan laki-laki, satu lagi tradisi dan perempuan, mungkin saya bisa membuka kompleksitas
hubungan antara Islam dan musik.

Hipotesisnya?

Saya ketemui di dua kelompok ini ada semacam fleksibilitas atau plastisitas dalam mereka berkesenian,
bermusik. Jadi, kesenian itu tidak patuh begitu saja pada formalitas agama.

Sementara musik Islami yang kita kenal kebanyakan adalah musik yang menyampaikan pesan melalui lirik
yang sifatnya didaktif, berkhotbah. Sedangkan mereka (maksudnya dalam Kande dan sike rebana tadi)
tidak karena sumber-sumber mereka bukan hanya Islam, tetapi sinkretisme. Ada Islam, sufisme, bermacam-macam.

Dalam satu bagian disertasi saya membandingkan dengan musik pop Islami yang ada di Jakarta, yang
nasional. Musik pop Islami yang nasional sifatnya lebih didaktis, menyampaikan pesan-pesan moral, di
sana tidak begitu. Sifatnya lebih terselubung, lirik maupun unsur-unsur musiknya.

Sementara yang saya lihat pada musik nasional, Islami itu hanya kulit, klipnya misalnya orang berwudu.
Jadi, unsur-unsur di luar musik yang dianggap Islami.

Apa yang Anda maksud dengan unsur musik?

Terutama nada dan juga lirik.

Bagaimana nada yang Islami?

Ini kompleks. Sike itu berasal dari kata zikir yang artinya puji-pujian kepada Allah. Tetapi, sike rebana
bergeser, dia berzikir, tetapi menggunakan Kitab Barzanji yang isinya puji-pujian kepada Muhammad.
Isinya sudah bergeser.

Liriknya menggunakan, misalnya, satu lagu memakai satu dua kalimat Kitab Barzanji, tetapi sudah
diliukkan, diputarbalikkan, sehingga menjadi suku kata tidak bermakna.

Lagunya sendiri?

Nah, ini juga menarik. Kalau bacaan Quran menggunakan modus skala nada Arab—maqam. Dalam sike itu tidak
digunakan. Dia menggunakan lima nada dan dekat dengan skala nada diatonis.

Justru pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengidentifikasi ini musik Islami dan yang itu bukan.
Sebetulnya, pelabelan musik Islam baru datang sejalan dengan Islamisasi di berbagai bidang, termasuk
politik dan ekonomi. Saya rasa itu ada hubungannya. Jadi, semua orang ingin berislam-islam. Saya agak
keras mengenai ini dalam ceramah di Salihara. Mungkin ada yang tidak suka.

Orang Aceh dan orang Kerinci sepuluh tahun lalu tidak pernah mengatakan, musik mereka Islami. Dengan
sendirinya, musiknya sudah Islam karena musik mereka organik, yang tidak perlu diberi label Islam.
Tetapi, karena mengerasnya formalitas agama melalui partai-partai politik, perda-perda syariah,
membuat akhirnya pemusik-pemusik dan khalayak pendengarnya membubuhkan label Islami.

Bagaimana dengan musik gambus yang sudah ada sejak tahun 1960-an?

Saya tidak terlalu menyinggung gambus dalam disertasi saya, tetapi menurut saya musik Islam selama
ini—yang telanjur disebut musik Islam—adalah segala sesuatu yang datang dari Timur Tengah.
Apa-apa yang datang dari Timur Tengah dianggap Islami. Ada kelompok kasidah yang menyanyikan sebuah
lagu dengan musik gambusnya. Ternyata, menurut teman saya yang berbahasa Arab, liriknya sangat erotis.

Jadi, karena selalu dikaitkan dengan Timur Tengah, kalau ada alat musik gambusnya, disebut Islami.
Padahal, gambus itu terminologi untuk alat musik.

Tidak serta-merta apa-apa yang dari Timur Tengah adalah Islami. Bisa saja musik yang ada di Lombok atau di
mana pun yang dimainkan masyarakat Muslim dan dimainkan dalam konteks Islam, misalnya untuk perayaan
hari-hari besar Islam, kita bisa mengidentifikasikannya juga sebagai musik Islam meskipun dia
menggunakan skala nada pelog dan slendro.

Saya contohkan, zaman dulu di desa-desa di Jawa, azan dan mengaji Quran menggunakan skala nada slendro
pelog. Sekarang baru menggunakan maqam, skala nada Asia Barat. Azan itu pelog, saya mengutipnya dari
Endo Suwanda, sampai tahun 1970-an. Dekat seperti kita mendengarkan orang nembang. Sayang kan
jadinya.... Saya menganggap kesenian Islam tidak selalu berasal dari Arab. Kekayaan musik Islam itu
lebih banyak.

Contoh lain warna lokal Islam?

Setiap kultur di Indonesia punya warna Islam, artinya tidak bisa kita pakai satu ukuran saja untuk
mengatakan musik ini Islami. Misalnya, beduk. Beduk datang dari China, tetapi dia dianggap sebagai
Islami. Itu bagus, kan.... Bercampur dengan yang lokal, seperti yang saya lihat di Kerinci dan Aceh.
Jadi, tidak seperti musik pop nasional yang Islami yang menurut saya oportunis, tiba-tiba ada di bulan
Ramadhan dan isinya sangat didaktis, khotbah. Sementara di Kerinci dan Kande mereka tidak mencoba
menyampaikan pesan itu secara telanjang.

Apa makna dari semua itu?

Salah satu tesis saya adalah luar biasa mereka bisa menjadi makhluk yang lain dalam keseniannya.
Misalnya, di Aceh, di tengah mengerasnya syariah agama.

Itu semacam pelepasan pribadi seniman atau pelepasan pribadi masyarakat?

Di situlah saya melihat plastisitas senimannya. Mereka fleksibel. Selain itu, apa yang dihasilkan
seniman sering kali lebih besar, lebih hebat, dari yang dimaksud si seniman. Hasil kreativitas yang
dalam musik Islami jangan-jangan melawan formalisme agama. Dan itu memang hanya terjadi dalam kesenian
di atas panggung. Begitu turun panggung mereka mengikuti formalisme agama.

Tidak bermasalah dengan masyarakat atau penguasa?

Bisa jadi. Di Aceh semakin tidak ada seniman perempuan di atas panggung. Yang diuntungkan seniman laki-laki.

Bagaimana kira-kira Anda melihat tren ke depan?

Dengan mengerasnya formalisme agama, saya khawatir mereka akan menuruti formalisme agama itu. Saat ini
mereka tidak dilarang, tetapi yang saya lihat di situlah fleksibilitas itu. Walaupun mereka mendapat
tekanan, tetapi mereka bisa menyiasatinya, dan sampai hari ini belum ada yang berkeberatan dengan musik mereka.

***

Beasiswa di Ujung Kuliah

Bangga Juga Mendapat dari Indonesia...

Sebenarnya, Ubiet ini mau jadi penyanyi atau akademisi? Wanita berdarah Aceh kelahiran Jakarta, 24 Mei
1965, itu tertawa. Yang jelas, Ubiet yang mewarnai kuku jari-jari kakinya dengan kuteks warna biru ini
telah menapaki karier akademis sampai meraih gelar PhD di bidang etnomusikologi—gelar yang hanya
disandang segelintir orang di negeri ini.

Hari-harinya kini diisi dengan kegiatan mengajar di Institut Kesenian Jakarta tempat dulu dia pernah
kuliah, selain terlihat di berbagai komunitas kesenian, bersama suaminya, penyair yang juga dikenal
sebagai pemikir kebudayaan, Nirwan Dewanto. Selama menempuh studinya di Wisconsin, Nirwan yang kini
kerap disopiri kendaraannya oleh Ubiet sering sekali menemani.

”Nirwan bolak-balik menyusul ke sana, kayak jetset...,” kata Ubiet tertawa. ”Dia tidak sekolah
karena dia tidak berminat pada dunia akademis. Dia menulis dan produktif sekali. Buku puisinya, Jantung
Lebah Ratu, dirilis sebelum saya berangkat. Saya enggak tahu dia menulis apa, kami tidak saling
mengintip. Kami saling diskusi, tetapi tidak saling mengintip.”

Migrasinya dari dunia musik pop ke musik yang ”serius” kata Ubiet merupakan sesuatu yang biasa
terjadi dalam kesenian, di mana, seperti dirinya, selalu ingin ”merusak” sesuatu yang telah ada sebelumnya.

”Saya kira seorang seniman harus begitu. Bukan berarti pindah genre.. Orang boleh berada pada genre
tertentu, tetapi bentuk harus berubah, bertransformasi, dengan jenis musik yang sama atau berbeda.”

Yang membawa dia sampai Wisconsin antara lain karena pertemuan dengan profesor yang kemudian menjadi
pembimbingnya, Anderson (Andy) Sutton—ahli musik Jawa. Dia tertarik pada etnomusikologi karena
tertarik para tradisi berikut keberagaman di dalamnya.

Dalam soal bersekolah di Amerika ini, Ubiet menceritakan terutama bagaimana dia mendapat beasiswa.
”Saya pertama kali dapat dari Ford Foundation untuk S-2, lalu Asian Cultural Council, dan UW Madison.
Saya frustrasi tidak dapat apa-apa dari Indonesia,” cerita dia.

Hanya saja, di ujung dia menjalani masa pendidikan selama sekitar delapan tahun mondar-mandir
Jakarta-Madison-Kerinci-Aceh (sambil mondar-mandir nyanyi kontemporer dan keroncong), ia mendapat
beasiswa bernama Beasiswa Unggulan dari Depdiknas.

”Jumlahnya kecil, tetapi bisa untuk tambahan. Bangga juga di ujung sekolah saya mendapat dari
Indonesia,” kata dia. (BRE/NMP)

Tentang UBIET

• Nama: Nyak Ina Raseuki (a.k.a Ubiet) • Tempat, tgl lahir: Jakarta, 24 Mei 1965

• Pendidikan:• PhD dalam etnomusikologi dari University of Wisconsin-Madison, AS (2009) dengan
disertasi ”Being Islamic in Music: Two Contemporary Genres from Sumatera”

• Master dalam etnomusikologi dari University of Wisconsin-Madison (1993) dengan tesis ”Seudati in
Acehnese Tradition: A

Preliminary Study”

• Sarjana dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dengan mayor musik-vokal (1983-1989)

• Pengalaman:• Pengajar etnomusikologi dan seni pertunjukan di IKJ (1993-sekarang), anggota
Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta (2006-2009), Sekretaris Jenderal Pendidikan Seni Nusantara (2002-2006)

• Penghargaan:• Leland Coon Fellowship, University of Wisconsin-Madison (1992-1993); The Ford
Foundation Fellowship, 1998-2008; Center for Southeast Asian Studies Fellowship, University of
Wisconsin-Madison, 1998-1999, 2009; Asian Cultural Council Fellowship-New York, 1999, 2009;
Beasiswa Unggulan, Departemen Pendidikan Nasional, 2008 • Discografi:• Commonality, The New
Jakarta Ensemble, Siam Records, New York (1999); Archipelagongs, Warner Music Indonesia, Jakarta
(2000); Music for Solo Performer: Ubiet Sings Tony Prabowo, Musikita, Jakarta (2006); Ubiet Kroncong
Tenggara, Ragadi Music, Jakarta, (2007)

Bre Redana & Ninuk M Pambudy

Kompas Minggu, 6 September 2009 | 03:27 WIB
Sumber

Jumat, 04 November 2011

Sastra Tutur Lisan Dadi yang Hampir Punah


Dadi merupakan salah satu sastra tutur (lisan) yang dimiliki masyarakat adat Lampung—dari marga Pubian, Lampung Tengah—selain kesenian Ringget dan Bubandung. Dalam masyarakat marga Pubian Telu Suku, khususnya, merupakan seni sastra tutur yang dalam membawakannya memiliki tingkat kesulitan tinggi. Karena untuk membawakan dadi membutuhkan pernafasan panjang, dan pelantunnya harus menguasai bahasa Lampung tinggi. Maka tak banyak orang Lampung yang benar-benar menguasainya.
Dadi dalam bahasa Lampung Pubian berarti mengandung sindiran dan makna yang mendalam untuk diterjemahkan. Dadi biasanya dilantunkan saat pergantian tahun, panen raya, pertemuan bujang-gadis atau sebelum/sesudah acara gawi. Bahkan untuk mengadakan acara dadi dipersiapkan pertemuan khusus.
Semasa jayanya dulu, dadi biasanya dilantunkan oleh beberapa pasang bujang dan gadis dengan menggunakan bahasa Lampung. Di belakang gadis biasanya ada guru yang mengajarkan jawaban-jawaban. Sehingga gadis itu harus menirukan lagu dan kosa kata yang diajarkan dari pengajar dibelakangnya. Di antara pengajar dan gadis-gadis itu dihalangi atau dibatasi dengan kebung atau lelit (kain yang bermakna kemasyarakatan) sehingga yang mengajarkan tidak nampak.
Di samping menggunakan bahasa yang halus, berdadi juga harus mengandung dua makna atau berarti ganda. Jika dua kelompok sedang melakukan dadi, salah satunya pindah pematang (makna bait yang baru dilantunkan berlainan dengan bait sebelumnya) maka si pendadi dinyatakan kalah.
Menurut pakar Dadi Manuna dalam membawakannya, irama dadi bermacam-macam, seperti: Lagu Dibi (irama senja), Lagu Tengah Bingi (irama tengah malam), Lagu Kuwasan (irama menjelang pagi), Lagu Punai Nanoh (irama naik-turun), Lagu Salah Undogh (irama awal ditinggikan, irama berikutnya rendah) dan Lagu Ngelumpat Kidang (irama tidak beraturan).
Simak beberapa bait dadi berikut ini yang sering dilantunkan ahli dadi Masnuna—salah satu penjaga sastra lisan Lampung yang kini jarang lagi pentas karena umurnya makin uzur. Konon, keahliannya Masnuna dalam mendedahkan dadi hingga kini tak ada tandingannya.
Bunga layu dipampang
Tiyak di tengah kali
lapah ngambang kambang
Miba nutuk way mili
Dalam dadi ini dikisahkan penaka bunga layu di cabang lalu jatuh di tengah sungai. Berjalan terombang-ambing mengikuti arus air sungai. Bait-baitnya menggambarkan bagaimana terjadinya globalisasi yang membuat gegar budaya dalam komunitas tradisi orang Lampung.
Merasa liyom (malu) jadi orang Lampung, tetapi nilai-nilai baru yang dianggap ideal sebagai pegangan belum teraih. Jadilah, orang-orang urban yang tercerabut dari akarnya dan kehilangan jatidiri. Kondisi ini membuat masyarakat anomali karena kehilangan jati diti. Membuang adat sudah, tetapi jadi manusia modern pun tidak.
Sejarah sa di buang
Kak Khadu kualami
Ibaghat ngubak bawang
Wat bawak mak buisi
Ibarat mengupas bawang, masa lalu telah berlalu. Ada kulit namun tak ada isi. Pesan bijaknya dalam syair dadi ini tersirat berhati-hatilah dalam menjalani kehidupan. Jangan lupa dengan seni budaya (kesenian) agar hidup yang dijalaninya tak sia-sia. Semua adat dan budaya harus dijaga dan ditumbuhkembangkan.
Karena tingkat kesulitan membawakannya cukup tinggi, seperti menggunakan bahasa Lampung tingkat tinggi yang tak semua orang mengerti maknanya, sastra lisan ini pun lambat laun mulai ditinggalkan. Sungguh sangat disayangkan, seni budaya daerah, yang mencerminkan kearifan lokal ini kini harus tergerus oleh zaman.