Kamis, 15 Desember 2011

ACCERA KALOMPOANG -Tradisi Sakral


ACCERA KALOMPOANG

Tradisi Sakral di Balla Lompoa, Makassar

Upacara adat "Accera Kalompoang" merupakan salah satu ritual acara adat yang sangat disakralkan, diyakini dan dihormati masyarakat Gowa. Inti kegiatan dari upacara adat ini antara lain Allekka Je'ne, Ammolong Tedong, Appidalleki dan Alangiri Kalompoang. 

Upacara adat ini telah dilaksanakan secara turun temurun, dan dilaksanakan bertepatan dengan Idul Adha sebagai puncak acara yang dirangkaikan dengan pencucian benda-benda pusaka milik kerajaan.

Sehari sebelum pelaksanaan idul Adha, orang dalam istana Balla Lompoa terlihat telah melakukan berbagai persiapan menjelang upacara adat Accera Kalompoang.

Sutrisno Daeng Tojeng, selaku pengawal benda pusaka memimpin upacara ritual Alleka Je'ne atau mengambil air dari Bungung Lompoa, yang terletak di sisi kompleks makam Sultan Hasanuddin, di Katangka. Ritual Alleka Je'ne ini mengandung makna menjemput, mengambil dan mengantar air bertuah. Kegiatan yang seharusnya dimulai pada saat matahari sekitar 'sitonrang bulo' (antara jam 07.30-09.00), terpaksa molor akibat paganrang (kelompok pemukul gendang) yang terlambat datang. 

Sekitar pukul 10.30 rombongan dan segenap perangkat upacara meninggalkan istana diiringi irama gendang tunrung pa'balle menuju ke bungung lompoa atau sumur bertuah yang terletak di sekitar kompleks Makam Sultan Hasanuddin, diantara lokasi masjid tua Katangka, melewati batu Tumanurunga atau Batu Pallantikang yang dipergunakan sebagai tempat Pelantikan Raja yang berada di Bukit Tamalatea.

Pengambilan air di Bungung Lompoa mempergunakan timba yang bahannya terdiri dari unsur alam yang bersifat nabati, pelepah daun lontar. Disamping Bungung Lompoa, terdapat tiga buah sumur bertuah yang memiliki fungsi tersendiri, yakni air sumur bungung lompoa dipergunakan dalam pembersihan dan pencucian (alangiri), air bungung barania dipakai untuk kesaktian dan kekebalan dan air bungung bissua dipergunakan untuk pengobatan.

Sebelum rombongan penjemput air bertuah kembali ke Istana Raja Gowa,Balla Lompoa, air diarak mengelilingi Batu Tumanurunga sebanyak tiga kali.

Setibanya di Istana, sebahagian air bertuah tersebut dituangkan di wajan untuk bahan Appassili dan selebihnya disemayamkan di atas Balla Lompoa untuk dipergunakan pada acara Allangiri Kalompoang. 

Upacara kemudian dilanjutkan dengan "Ammolong tedong" atau pemotongan kerbau. Menurut pemuka adat kerajaan Gowa, Upacara Ammolong Tedong ini sesuai ajaran Syariat Islam yang bermakna sebagai pengakar dan penolak bahaya yang berhubungan dengan darah sebagaimana penuturan yang disepakati secara teguh turun temurun.

Upacara "Ammolong Tedong" ini dimulai pada saat posisi matahari Allabang Lino (pertengahan bumi). Upacara dimulai dengan ritual Appasili Tedong kemudian Apparurui Tedong atau perlakuan khusus pada hewan kurban yang selanjutnya hewan kurban ini diarak oleh rombongan mengitari areal istana dan setelah itu dimasukkan ke dalam tempat khusus penyembelihan untuk dipotong dan sebagian darah ditadah dan disemayamkan untuk bahan Allangiri Kalompoang serta kepalanya disimpan untuk upacara Appidalleki.

Upacara Appildalleki, pengertian harfiahnya adalah persembahan sesajen kepada leluhur yang diantar dengan doa syukur kehadirat Allah SWT. Kegiatan ini dilaksanakan pada saat posisi matahari kembali diperaduannya, sesudah shalat Isya dan takbiran, dimana upacara ini khusus dihadiri oleh kalangan keluarga Raja.

Allangiri Kalompoang

Upacara Allangiri Kalompoang atau biasa juga diistilahkan Annyossoro (pembersihan benda-benda utama pusaka kerajaan dan selanjutnya dilakuakn acara penimbang/penakaran benda-benda pusaka milik kerajaan.

Upacara inilah yang merupakan inti dari segala rangkaian Accera Kalompoang yang oleh masyarakat Gowa memberihkan arti tersendiri atas pelaksanaannya. 

1.Annyossoro diartikan untuk meluluhkan segala sifat-sifat kejelekan manusia;

2.Allangiri adalah menanamkan keyakinanakan kesucian; dan
3.Annimbang adalah pertanda baik buruknya tingkat kehidupan rakyat dimasa datang dan berhasil tidaknya hasil bumi, ditentukan dari berat ringannya hasil penimbangan benda-benda kerajaan. 

Benda-benda kebesaran kerajaan Gowa yang dibersihkan (allangiri kalompoang) yakni:

1.Pannyanggaya berupa tombak yang terbuat dari rotan dan berambut ekor kuda dengan panjang 2,22 cm dipakai pada upacara khusus kerajaan.

2.Lasippo ; adalah benda kerajaan yang berbentuk parang dari besi tua. Senjata sakti ini dipergunakan oleh raja sebagai pertanda untuk mendatangi suatu tempat yang akan dikunjungi, panjangnya 62 cm, lebar 6 cm.

3.Tataparang ; adalah sejenis keris emas, pakai permata dan besi tua sebagai pelengkapnya. Dipakai dalam upacara kerajaan, beratnya 986,5 gram, panjang 51 cm dan lebar 13 cm.

4.Salokoa ; adalah mahkota terbuat dari bahan emas murni dan beberapa butiran permata berlian dll, ukuran garis tengah 30 cm, jumlah permata 250 batang, berat 1.768 gram. Bentuknya menyerupai kerucut bunga teratai yang memiliki lima helai kelopak daun. Merupakan salah satu benda kebesaran kerajaan Gowa yang digunakan sebagai mahkota bila ada pelantikan raja. Benda ini berasal dari Raja Gowa pertama (Tumanurunga di abad ke 14).

Selain itu masih ada sejumlah benda pusaka lainnya yang ikut dibersihkan, diantaranya:

1.Sudanga (kelewang yang memiliki kesaktian), 

2.Ponto Janga-Jangaya (gelang terbuat dari emas murni dengan berat 985m5 gram bentuknya seperti naga yang melingkar sebanyak 4 buah, 

3.Kolara (rantai kerajaan terbuat dari emas murni) dan menjadi atribut raja yang berkuasa seberat 2.182 gram, 

4.bangkarak ta'roe adalah perhiasan seperti anting-anting terbuat dari emas murni seberat 287 gram, 

5.kancing gaukang terbuat dari emas murni seberat 277 gram, 

6.tobo kaluku (kalung dari Manila) terbuat dari emas murni pemberian dari kerajaan Sulu Philipina Selatan pada abad XVI, 

7.mata tombak, cincin emas, parang panjang, penning emas pemberian dari kerajaan Inggris serta 

8.medali emas pemberian dari kerajaan Belanda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar