Jumat, 02 Desember 2011

Fleksibilitas Kesenian


Ini merupakan hasil wawancara dengan Nyak Ina 'Ubiet' Raseuki

Berhadapan dengan Ubiet—begitu pemusik ”avant-garde” Nyak Ina Raseuki ini biasa
dipanggil—bisa membuat musik terdedah dari berbagai jurusan. Ubiet baru saja pulang kembali ke Tanah
Air setelah menyelesaikan pendidikan S-3, meraih gelar PhD dalam etnomusikologi dari University of
Wisconsin-Madison, AS dengan disertasi ”Being Islamic in Music: Two Contemporary Genres from Sumatera”.

Hari Rabu (2/9) petang lalu, ada acara di Komunitas Salihara, Pejaten, Jakarta, menampilkan Ubiet.
Beberapa orang yang datang ada yang mengira Ubiet akan menyanyi. Maklum, untuk kalangan tertentu, Ubiet
dikenal sebagai penyanyi dengan pendekatan musik dan pengungkapan vokal yang unik.

Dalam dunia industri rekaman, dia telah menghasilkan tiga album, yakni Archipelagongs (2000), Music for
Solo Performer: Ubiet Sings Tony Prabowo (2006); dan Ubiet Kroncong Tenggara (2007). Dia tampil di
beberapa panggung musik seperti ketika Kompas menyelenggarakan ”Megalitikum-Kuantum” tahun
2005. Ia juga pernah mengisi soundtracks film, selain menjadi penyanyi di berbagai kafe.

Ternyata, di Salihara petang itu Ubiet tidak menyanyi. Dia menjadi pembicara pada seri diskusi Ramadhan.
Ia menyampaikan makalah ”Dua Musik Islami dari Sumatera”—suatu pemikiran yang disarikan dari
disertasi doktornya, Being Islamic in Music.

Tentang apa disertasi Anda?

Disertasi saya tentang kesenian, terutama musik. Saya memilih hanya dua kelompok musik, yaitu Kande di
Aceh, laki-laki, penyanyi Rafly yang populer, musik pop; yang satu lagi saya pilih Kerinci di Provinsi
Jambi, kelompok musik sike rebana, perempuan, tradisi.

Ceritanya, ketika saya menyelesaikan kelas-kelas pada tahun 2000, saya pulang ke sini mau ke Aceh untuk
meneruskan (penelitian) sung poetry. Kompleksitas hubungan antara Islam dan sung poetry inilah yang
hendak saya perdalami sebagai kelanjutan tesis master saya tentang seudati, salah satu bentuk sung
poetry di Aceh.

Tetapi, Aceh sedang tidak aman, puncak-puncaknya konflik bersenjata, yang membuat saya tidak bisa
datang ke sana. Saya memindahkan penelitian saya ke Kerinci. Dalam kurun 2001-2003, saya bolak-balik ke
Kerinci, akhirnya saya memutuskan untuk melihat sike rebana yang sebelumnya saya lihat dalam Festival
Istiqlal tahun 1995.

Setelah tsunami tahun 2004, Aceh mulai terbuka. Mulai tahun 2005 sampai 2006 saya datang lagi ke Aceh
mengamati Kande. Kebetulan Kande ini suatu genre populer dan laki-laki. (Dengan dua contoh itu), yang
satu populer dan laki-laki, satu lagi tradisi dan perempuan, mungkin saya bisa membuka kompleksitas
hubungan antara Islam dan musik.

Hipotesisnya?

Saya ketemui di dua kelompok ini ada semacam fleksibilitas atau plastisitas dalam mereka berkesenian,
bermusik. Jadi, kesenian itu tidak patuh begitu saja pada formalitas agama.

Sementara musik Islami yang kita kenal kebanyakan adalah musik yang menyampaikan pesan melalui lirik
yang sifatnya didaktif, berkhotbah. Sedangkan mereka (maksudnya dalam Kande dan sike rebana tadi)
tidak karena sumber-sumber mereka bukan hanya Islam, tetapi sinkretisme. Ada Islam, sufisme, bermacam-macam.

Dalam satu bagian disertasi saya membandingkan dengan musik pop Islami yang ada di Jakarta, yang
nasional. Musik pop Islami yang nasional sifatnya lebih didaktis, menyampaikan pesan-pesan moral, di
sana tidak begitu. Sifatnya lebih terselubung, lirik maupun unsur-unsur musiknya.

Sementara yang saya lihat pada musik nasional, Islami itu hanya kulit, klipnya misalnya orang berwudu.
Jadi, unsur-unsur di luar musik yang dianggap Islami.

Apa yang Anda maksud dengan unsur musik?

Terutama nada dan juga lirik.

Bagaimana nada yang Islami?

Ini kompleks. Sike itu berasal dari kata zikir yang artinya puji-pujian kepada Allah. Tetapi, sike rebana
bergeser, dia berzikir, tetapi menggunakan Kitab Barzanji yang isinya puji-pujian kepada Muhammad.
Isinya sudah bergeser.

Liriknya menggunakan, misalnya, satu lagu memakai satu dua kalimat Kitab Barzanji, tetapi sudah
diliukkan, diputarbalikkan, sehingga menjadi suku kata tidak bermakna.

Lagunya sendiri?

Nah, ini juga menarik. Kalau bacaan Quran menggunakan modus skala nada Arab—maqam. Dalam sike itu tidak
digunakan. Dia menggunakan lima nada dan dekat dengan skala nada diatonis.

Justru pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengidentifikasi ini musik Islami dan yang itu bukan.
Sebetulnya, pelabelan musik Islam baru datang sejalan dengan Islamisasi di berbagai bidang, termasuk
politik dan ekonomi. Saya rasa itu ada hubungannya. Jadi, semua orang ingin berislam-islam. Saya agak
keras mengenai ini dalam ceramah di Salihara. Mungkin ada yang tidak suka.

Orang Aceh dan orang Kerinci sepuluh tahun lalu tidak pernah mengatakan, musik mereka Islami. Dengan
sendirinya, musiknya sudah Islam karena musik mereka organik, yang tidak perlu diberi label Islam.
Tetapi, karena mengerasnya formalitas agama melalui partai-partai politik, perda-perda syariah,
membuat akhirnya pemusik-pemusik dan khalayak pendengarnya membubuhkan label Islami.

Bagaimana dengan musik gambus yang sudah ada sejak tahun 1960-an?

Saya tidak terlalu menyinggung gambus dalam disertasi saya, tetapi menurut saya musik Islam selama
ini—yang telanjur disebut musik Islam—adalah segala sesuatu yang datang dari Timur Tengah.
Apa-apa yang datang dari Timur Tengah dianggap Islami. Ada kelompok kasidah yang menyanyikan sebuah
lagu dengan musik gambusnya. Ternyata, menurut teman saya yang berbahasa Arab, liriknya sangat erotis.

Jadi, karena selalu dikaitkan dengan Timur Tengah, kalau ada alat musik gambusnya, disebut Islami.
Padahal, gambus itu terminologi untuk alat musik.

Tidak serta-merta apa-apa yang dari Timur Tengah adalah Islami. Bisa saja musik yang ada di Lombok atau di
mana pun yang dimainkan masyarakat Muslim dan dimainkan dalam konteks Islam, misalnya untuk perayaan
hari-hari besar Islam, kita bisa mengidentifikasikannya juga sebagai musik Islam meskipun dia
menggunakan skala nada pelog dan slendro.

Saya contohkan, zaman dulu di desa-desa di Jawa, azan dan mengaji Quran menggunakan skala nada slendro
pelog. Sekarang baru menggunakan maqam, skala nada Asia Barat. Azan itu pelog, saya mengutipnya dari
Endo Suwanda, sampai tahun 1970-an. Dekat seperti kita mendengarkan orang nembang. Sayang kan
jadinya.... Saya menganggap kesenian Islam tidak selalu berasal dari Arab. Kekayaan musik Islam itu
lebih banyak.

Contoh lain warna lokal Islam?

Setiap kultur di Indonesia punya warna Islam, artinya tidak bisa kita pakai satu ukuran saja untuk
mengatakan musik ini Islami. Misalnya, beduk. Beduk datang dari China, tetapi dia dianggap sebagai
Islami. Itu bagus, kan.... Bercampur dengan yang lokal, seperti yang saya lihat di Kerinci dan Aceh.
Jadi, tidak seperti musik pop nasional yang Islami yang menurut saya oportunis, tiba-tiba ada di bulan
Ramadhan dan isinya sangat didaktis, khotbah. Sementara di Kerinci dan Kande mereka tidak mencoba
menyampaikan pesan itu secara telanjang.

Apa makna dari semua itu?

Salah satu tesis saya adalah luar biasa mereka bisa menjadi makhluk yang lain dalam keseniannya.
Misalnya, di Aceh, di tengah mengerasnya syariah agama.

Itu semacam pelepasan pribadi seniman atau pelepasan pribadi masyarakat?

Di situlah saya melihat plastisitas senimannya. Mereka fleksibel. Selain itu, apa yang dihasilkan
seniman sering kali lebih besar, lebih hebat, dari yang dimaksud si seniman. Hasil kreativitas yang
dalam musik Islami jangan-jangan melawan formalisme agama. Dan itu memang hanya terjadi dalam kesenian
di atas panggung. Begitu turun panggung mereka mengikuti formalisme agama.

Tidak bermasalah dengan masyarakat atau penguasa?

Bisa jadi. Di Aceh semakin tidak ada seniman perempuan di atas panggung. Yang diuntungkan seniman laki-laki.

Bagaimana kira-kira Anda melihat tren ke depan?

Dengan mengerasnya formalisme agama, saya khawatir mereka akan menuruti formalisme agama itu. Saat ini
mereka tidak dilarang, tetapi yang saya lihat di situlah fleksibilitas itu. Walaupun mereka mendapat
tekanan, tetapi mereka bisa menyiasatinya, dan sampai hari ini belum ada yang berkeberatan dengan musik mereka.

***

Beasiswa di Ujung Kuliah

Bangga Juga Mendapat dari Indonesia...

Sebenarnya, Ubiet ini mau jadi penyanyi atau akademisi? Wanita berdarah Aceh kelahiran Jakarta, 24 Mei
1965, itu tertawa. Yang jelas, Ubiet yang mewarnai kuku jari-jari kakinya dengan kuteks warna biru ini
telah menapaki karier akademis sampai meraih gelar PhD di bidang etnomusikologi—gelar yang hanya
disandang segelintir orang di negeri ini.

Hari-harinya kini diisi dengan kegiatan mengajar di Institut Kesenian Jakarta tempat dulu dia pernah
kuliah, selain terlihat di berbagai komunitas kesenian, bersama suaminya, penyair yang juga dikenal
sebagai pemikir kebudayaan, Nirwan Dewanto. Selama menempuh studinya di Wisconsin, Nirwan yang kini
kerap disopiri kendaraannya oleh Ubiet sering sekali menemani.

”Nirwan bolak-balik menyusul ke sana, kayak jetset...,” kata Ubiet tertawa. ”Dia tidak sekolah
karena dia tidak berminat pada dunia akademis. Dia menulis dan produktif sekali. Buku puisinya, Jantung
Lebah Ratu, dirilis sebelum saya berangkat. Saya enggak tahu dia menulis apa, kami tidak saling
mengintip. Kami saling diskusi, tetapi tidak saling mengintip.”

Migrasinya dari dunia musik pop ke musik yang ”serius” kata Ubiet merupakan sesuatu yang biasa
terjadi dalam kesenian, di mana, seperti dirinya, selalu ingin ”merusak” sesuatu yang telah ada sebelumnya.

”Saya kira seorang seniman harus begitu. Bukan berarti pindah genre.. Orang boleh berada pada genre
tertentu, tetapi bentuk harus berubah, bertransformasi, dengan jenis musik yang sama atau berbeda.”

Yang membawa dia sampai Wisconsin antara lain karena pertemuan dengan profesor yang kemudian menjadi
pembimbingnya, Anderson (Andy) Sutton—ahli musik Jawa. Dia tertarik pada etnomusikologi karena
tertarik para tradisi berikut keberagaman di dalamnya.

Dalam soal bersekolah di Amerika ini, Ubiet menceritakan terutama bagaimana dia mendapat beasiswa.
”Saya pertama kali dapat dari Ford Foundation untuk S-2, lalu Asian Cultural Council, dan UW Madison.
Saya frustrasi tidak dapat apa-apa dari Indonesia,” cerita dia.

Hanya saja, di ujung dia menjalani masa pendidikan selama sekitar delapan tahun mondar-mandir
Jakarta-Madison-Kerinci-Aceh (sambil mondar-mandir nyanyi kontemporer dan keroncong), ia mendapat
beasiswa bernama Beasiswa Unggulan dari Depdiknas.

”Jumlahnya kecil, tetapi bisa untuk tambahan. Bangga juga di ujung sekolah saya mendapat dari
Indonesia,” kata dia. (BRE/NMP)

Tentang UBIET

• Nama: Nyak Ina Raseuki (a.k.a Ubiet) • Tempat, tgl lahir: Jakarta, 24 Mei 1965

• Pendidikan:• PhD dalam etnomusikologi dari University of Wisconsin-Madison, AS (2009) dengan
disertasi ”Being Islamic in Music: Two Contemporary Genres from Sumatera”

• Master dalam etnomusikologi dari University of Wisconsin-Madison (1993) dengan tesis ”Seudati in
Acehnese Tradition: A

Preliminary Study”

• Sarjana dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dengan mayor musik-vokal (1983-1989)

• Pengalaman:• Pengajar etnomusikologi dan seni pertunjukan di IKJ (1993-sekarang), anggota
Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta (2006-2009), Sekretaris Jenderal Pendidikan Seni Nusantara (2002-2006)

• Penghargaan:• Leland Coon Fellowship, University of Wisconsin-Madison (1992-1993); The Ford
Foundation Fellowship, 1998-2008; Center for Southeast Asian Studies Fellowship, University of
Wisconsin-Madison, 1998-1999, 2009; Asian Cultural Council Fellowship-New York, 1999, 2009;
Beasiswa Unggulan, Departemen Pendidikan Nasional, 2008 • Discografi:• Commonality, The New
Jakarta Ensemble, Siam Records, New York (1999); Archipelagongs, Warner Music Indonesia, Jakarta
(2000); Music for Solo Performer: Ubiet Sings Tony Prabowo, Musikita, Jakarta (2006); Ubiet Kroncong
Tenggara, Ragadi Music, Jakarta, (2007)

Bre Redana & Ninuk M Pambudy

Kompas Minggu, 6 September 2009 | 03:27 WIB
Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar